30 January 2010
D. SURACHDIN,(GM)-
WAJAH imut, tidak sombong, perilaku ramah dan sopan. Itulah kesan pertama yang kita peroleh jika bertemu dengannya. Kekaguman kita akan bertambah bila menyaksikan kepiawaiannya menguasai bola dan mengatur serangan di lapangan hijau. Tehniknya bagus, gayanya yang khas mampu mewarnai permainan tim yang dibelanya. Profesional, inilah kesan kedua yang kita peroleh terhadap Suchao Nuchnum, gelandang Persib Bandung bernomor punggung 15 ini.
Tak heran, bila sepekan terakhir usai Persib menekuk Persik Kediri dengan skor fantastis 6-1, profil pemain berusia 26 tahun ini, masih menghias beberapa media massa di Bandung. Nada-nada pujian tak habis-habisnya dilontarkan bagaikan eufoni dari suatu simfoni. Bobotoh Persib mengelu-elukan dan memujanya, layaknya menyambut seorang pahlawan yang pulang perang membawa kemenangan.
Kehadiran Suchao, memang agaknya tidak hanya mewarnai permainan Persib, tapi juga membawa nuansa baru di Kota Bandung ini. Bila kita amati, ia tak hanya jadi pujaan penggemar sepak bola yang umumnya didominasi kaum pria. Tapi juga dari kalangan ibu-ibu rumah tangga, selain tentunya para mojang Priangan.
Mereka berebut untuk berpotret bersama dan menyalaminya atau sekadar melihat wajahnya dari kejauhan. Tak ada komunikasi kata yang terucap karena hambatan bahasa. Namun dari ekspresi yang terpancar terlihat seakan-akan Suchao adalah keluarga mereka, anak yang mereka rindu dan dambakan selama ini. Suchao telah berhasil mencuri hati mereka.
Sulit memang bagi kita menerangkan fenomena ini dengan kata-kata. Apa yang membuat para ibu ini jatuh hati pada Suchao. Namun dari perilaku dan ekspresi wajah para ibu ini, mengingatkan kita pada bait lagu yang dulu akrab di telinga dan sering kita dendangkan di era tahun '60-'70-an.
Oh Ibu dan Ayah selamat pagi,
Ku pergi sekolah sampaikan nanti
Selamat belajar Nak penuh semangat
Rajinlah belajar tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itu tandanya kau murid budiman
Bait lagu yang sederhana ini membawa ingatan kita pada suasana masa silam. Suasana yang menggambarkan bagaimana tatakrama, sopan santun dan budi pekerti masih menjadi bagian penting yang ditanamkan di rumah maupun di sekolah.
Mungkin masih ingat ketika guru kita dulu memberikan mata pelajaran yang namanya "Budi Pekerti". Inti pelajaran ini adalah mengajarkan pada kita tentang bagaimana cara berperilaku baik, dan apa ganjarannya (punishment and rewards).
Hal yang sama juga kita peroleh dari ke dua orangtua kita, berupa nasihat-nasihat yang dari hari ke hari tak bosan-bosannya disampaikan mereka. Pada saat itu, jarang ada komunikasi langsung (interaktif) antara guru dan orangtua kita. Namun mereka seakan-akan seiring mendoakan dengan kasih sayangnya: "kelak besar jadilah kau seorang yang budiman dan berprestasi".
Meski kita tak mengenal kehidupan pribadinya secara mendalam, Suchao telah memberikan kesan dan profil tentang anak "budiman". Kesuksesannya menjadi pemain sepak bola profesional, tentu buah dari semangat dan kerajinannya belajar. Kerendahan hati dan sopan santun yang dimilikinya, tentu buah dari doa dan didikan orangtua dan gurunya. Anak muda asal Negara Thailand ini, seakan-akan memang hadir untuk mengobati rasa rindu kaum ibu, khususnya di Bandung. Siapa orangtua yang tak mendambakan punya anak "berprestasi dan berbudi".
Suchao memang telah meninggalkan Persib Bandung. Perpisahannya pun diiringi dengan air mata rekan satu tim dan jajaran pengurus, dan mungkin juga kaum ibu. Namun banyak hal berharga yang ditinggalkannya, walaupun ia hanya 2,5 bulan hadir di tengah-tengah kita.
Kehadiran Suchao juga membuat kita, terutama kaum pendidik, patut merenung dan bertanya. Masih pantaskah bangsa ini menyandang predikat sebagai bangsa yang terkenal dengan berbudi luhur dan keramah-tamahannya? Sementara di masyarakat dari hari ke hari kita menyaksikan, dan mendengar kata-kata yang tak pantas begitu mudah keluar dari mulut seorang anak pada orangtua dan gurunya.
Lebih parah lagi, kata-kata demikian juga sering keluar dari orang-orang yang berpredikat sebagai pemimpin dan wakil rakyat. Antara kritik dan saran sudah tak bisa dibedakan lagi dengan hujatan dan cacian. Kita catat pula aksi tawuran pelajar, perkelahian massal dan perbuatan anarkis, yang mewarnai kehidupan bangsa dan negara ini hampir tiap bulan.
Di mana rasa saling hormat itu, di mana rasa toleransi itu, di mana sopan santun itu, dan di mana pelajaran budi pekerti itu? Adakah yang salah dalam metode dan kurikulum pendidikan kita, sehingga tugas guru hanya sebatas mentransfer pengetahuan? Begitu sibukkah orangtua sehingga menyerahkan pendidikan anak di rumah menjadi urusan pembantu rumah tangga? Ataukah ini dampak dari tekanan ekonomi, sehingga hari demi hari habis terpakai untuk sekadar mencari nafkah?
Agaknya kita tak perlu saling menyalahkan. Yang jelas ini salah kita bersama dan tugas kita bersama pula, terutama orangtua dan kalangan pendidik untuk memperbaikinya. Saatnya kita menjawab kerinduan setiap orangtua yang mendambakan mempunyai "anak budiman" dengan melahirkan Asep Suchao, Gatot Suchao, Ketut Suchao, Bujang Suchao, Poltak Suchao, dan Suchao-Suchao lainnya, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. (Penulis, Direktur PT Galamedia Bandung Perkasa)**
Sumber: Galamedia
By: BP
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment