MUNCULNYA kompetisi sepak bola profesional baru yang bertajuk Liga Primer Indonesia (LPI) cukup menarik perhatian khalayak. Berawal dari keprihatinan bobroknya kondisi dan pengelolaan sepak bola Indonesia, LPI hadir bagai angin segar bagi beberapa klub yang merasa tak nyaman pada ajang Liga Super Indonesia (LSI) dan klub-klub kecil yang ingin tampil, tetapi tidak memiliki dana besar.
Kompetisi yang dianggap saingan LSI ini, sementara banyak yang menilai memiliki beberapa keunggulan, terutama dari segi finansial. Sementara dari sisi kompetisi, jelas LSI yang memiliki kelebihan. Sebagai kompetisi tertinggi di Indonesia, mereka memiliki afiliasi regional dan internasional ke AFC dan FIFA sehingga klub anggotanya bisa berkompetisi ke tingkatan yang lebih tinggi di level Asia atau bahkan dunia.
Salah satu dari keuntungan LPI, klub akan menerima pembagian keuntungan dana dari sponsor utama dan pembagian hak siar secara penuh atau 100 persen. Dengan kuota keuntungan 80 persen untuk klub dan 20 persen untuk pembinaan (konsorsium LPI). Sebaliknya, di LSI klub tidak mendapatkan keuntungan dana dari sponsor utama ataupun pembagian hak siar. Kompensasi siaran langsung LSI 100 persen masuk ke PT Liga Indonesia (Liga)/PSSI.
Pendanaan klub LPI pun dianggap lebih profesional karena tidak melibatkan APBD, tetapi lebih pada investasi dari konsorsium dengan besaran dana yang berbeda, bergantung pada kebutuhan klub, yakni sekitar Rp 5 miliar-Rp 20 miliar per klub.
Sebaliknya, untuk klub-klub LSI, meski tidak ada anjuran menggunakan dana APBD, kebanyakan klub-klub masih bergantung pada APDB untuk membeli kebutuhan tim, mulai dari pemain asing hingga pelatih asing. Banyak klub-klub yang daerahnya tidak memiliki APBD besar, akhirnya bubar karena tidak ada sumber pemasukan lainnya.
Dari segi penyelenggaraan kompetisi, struktur saham LSI, klub sama sekali tidak melakukan sumbangsih untuk menggelar kompetisi. Saham murni 95 persen milik PSSI dan 5 persen merupakan milik yayasan. Sebaliknya, di LPI, kepemilikan kompetisi 100 persen merupakan usaha klub sehingga kepemilikan kompetisi murni klub dan bukan milik konsorsium.
LPI sepertinya ingin merangsang klub peserta untuk mandiri dan bisa mengelola keuangannya sendiri. Di konsorsium, semua klub peserta punya perwakilan dan menjadi pengurus di sana.
Kelebihan LPI lainnya, yakni jumlah hadiah yang cukup menggiurkan. Kendati memiliki jumlah peserta yang lebih banyak, 19 klub, dibandingkan dengan LSI yang kini hanya 15 klub, LPI ternyata juga menyediakan hadiah sekitar Rp 5 miliar kepada juara. Sementara LSI hanya Rp 1,5 miliar, padahal nilai kontrak sponsor utama dari PT Djarum Indonesia adalah Rp 41,5 miliar.
Dari perangkat pertandingan, LPI menggunakan wasit asing dengan kontrak dua tahun. Tentu saja, hal itu dianggap lebih profesional dibandingkan dengan wasit lokal yang digunakan LSI. Pasalnya, beberapa klub merasa trauma dengan permainan wasit hingga merasa dikerjai.
Melihat pesatnya dukungan untuk LPI, CEO PT Liga Joko Driyono memandang bahwa LPI bukan sesuatu hal yang harus dijadikan saingan. "Kemunculan LPI bukan merupakan gangguan untuk Liga. Sejak awal, kami sudah memiliki rencana bisnis yang jelas sebelum munculnya LPI," ujarnya saat dihubungi "PR", Rabu (5/1).
Menurut Joko, Liga selalu melakukan pembaruan di setiap lini. Mulai dari pembenahan administrasi dan program hingga ke luar negeri untuk unsur sumber daya manusianya, hingga perbaruan untuk administrasi kompetisi. "Saat ini, kami tidak memikirkan LPI, tapi kami fokus pada penilaian AFC Mei nanti, untuk menjadi Liga terbaik di ASEAN dan peringkat kedelapan terbaik di Asia. Jadi, perbaikan ini bukan bersaing dengan LPI," ucapnya.
Mengenai kinerja wasit, Joko tidak mengelak bahwa masih kurangnya kualitas wasit di Indonesia. "Kami sudah berusaha melakukan pembenahan termasuk dengan melakukan program untuk menambah profesionalisme wasit," tutur Joko kemudian.
Mengenai pendanaan, menurut dia, Liga tidak menyuruh klub untuk menggunakan dana APBD. Liga sepenuhnya memberikan kewenangan klub untuk bebas merencanakan dan mengelola keuangan secara mandiri. Jika ternyata mereka menggunakan APBD dan di tengah jalan bermasalah, itu adalah pilihan dari klub sendiri.
Beriringan
Pengamat sepak bola yang juga mantan Manajer Timnas Indonesia I.G.K. Manila mengatakan, tumbuhnya LPI harus disikapi dengan bijak. Baginya, LPI bisa dijadikan cermin bagi penyelenggaraan dan pengelolaan LSI. Dengan demikian, dia menilai, lebih baik keduanya dijalankan beriringan.
"Karena ini menjanjikan suatu profesionalisme, kenapa diributkan? PSSI harusnya bisa melihat hasil dari kedua kompetisi. Anggap saja, kita kembali seperti masa dulu ketika ada perserikatan dan galatama. Di mana nantinya kompetisi yang sudah bagus dipertahankan dan yang tidak ya harus diperbaiki," ucapnya.
Manila menilai, sebaiknya LPI diberikan kesempatan satu atau dua musim untuk membuktikan diri. Jika ternyata hasilnya bagus, bisa memberikan kontribusi lebih, khususnya bagi timnas. "Belum dimulai saja sudah dianggap menjelekkan atau menjatuhkan oknum tertentu," tuturnya.
Dilihat dari peringkat pertandingan pun, penggunaan wasit asing dianggap Manila bisa memberikan transfer ilmu untuk peningkatan profesionalisme wasit lokal. "Seharusnya semua bisa dipandang dari sisi positif, PSSI dan LPI duduk bersama karena ini semua tujuannya untuk memajukan sepak bola nasional, sesuai dengan amanat KSN di Malang," kata Manila. (Wina Setyawatie/"PR")***
Sumber: PR
By: BP

0 comments:
Post a Comment